Sabtu, 09 Januari 2010

Taat Kepada Suami .

Rasulullah saw. bersabda,
"Seandainya aku diperbolehkan untuk memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada selain Allah, sungguh akan kuperintahkan wanita untuk bersujud kepada suaminya. Demi Dzat Yang jiwa Muhammad ada di Tangan-Nya, tidaklah seorang wanita bisa menunaikan hak-hak Allah sebelum ia menunaikan hak-hak suaminya seluruhnya, sehingga seandainya suaminya meminta dirinya dan ia berada di atas pelana kendaraan, ia tidak boleh menolaknya." (Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Hibban).
Allah berfirman, "Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita." (An-Nisa: 34).
Wanita shalihah meyakini dan menerima dengan penuh kerelaan bahwa suaminya adalah pemimpin dalam rumah tangganya. Dan ia berkedudukan di bawah suaminya, sehingga ia mempunyai tanggung jawab untuk mentaatinya, karena keshalihan selalu berhubungan dengan ketaatan. Tidak bisa seseorang dikatakan shalih, jika ia tidak mempunyai ketaatan. Orang yang tidak taat adalah orang yang bermaksiat. Dan orang yang taat adalah orang yang shalih, sebagaimana firman Allah,
"Adapun orang-orang shalihah, adalah qanitat (orangyang taat), dan hafizhat (orang yang menjaga diri) saat suami tiada dengan sebab penjagaan Allah atasnya." (An-Nisa: 34).
Dalam Huququl Mar'ah dikatakan, bahwa istri yang tidak mentaati suami berarti telah bermaksiat kepada suaminya. Dan istri yang bermaksiat kepada suami berarti telah bermaksiat kepada Rasul-Nya. Dan siapa yang bermaksiat kepada Rasul-Nya, berarti telah bermaksiat kepada Allah. Dengan demikian, wajar jika malaikat mendo'akan laknat kepada wanita yang tidak mentaati suaminya.
Imam Nawawi rah. a. menulis, bahwa sebaiknya para istri mengetahui bahwa dirinya adalah milik suami, sebagaimana tawanan lemah yang tidak berdaya di hadapan suami. Selalu tunduk dan taat kepada suami, sehingga alim ulama berpendapat bahwa dalam segala perbuatan, istri hendaknya senantiasa dengan izin suami. Dan istri hendakriya merasa malu terhadap suami, tidak menentangnya, menundukkan pandangannya di hadapan suami, merendahkan suaranya, taat kepadanya dalam setiap perintah yang diberikan olehnya kecuali untuk kemaksiatan, diam ketika suami berbicara, mengantarkannya ketika keluar rumah, menjemputnya dengan bermuka manis ketika datang, menunjukkan cinta kasih kepadanya, mencumbunya ketika tidur, memakai harum-haruman ketika menemaninya, membiasakan berhias di hadapannya dan tidak berhias ketika ditinggal suami.
Ketaatan kepada suami adalah mutlak, sebagaimana nasehat Ibnul Jauzi rah.a., bahwa ketaatan seorang wanita kepada suami adalah wajib. Namun ketaatan wajib ini terbatas hal-hal yang dihalalkan bukan yang diharamkan, misalnya, mengajak bersetubuh pada waktu haidh, pada siang bulan Ramadhan, mengajak tidak shalat dan lain sebagainya. Allah tidak memperkenankan seseorang mentaati makhluk dalam hal-hal yang jelas bertentangan dengan perintah-Nya. Syaikh Abdul Halim Hamid menambahkan, seperti berdandan dengan dandanan Jahiliyah, serta ikut berkumpul dalam majelis yang bercampur antara pria dan wanita, maka seorang istri tidak wajib untuk mentaati suaminya dalam hal-hal tersebut di atas. Selanjutnya beliau menulis, bahwa seorang wanita shalihah hendaknya berhati-hati agar kekurangan yang ada pada diri suaminya tidak menyebabkan dirinya suka membantah perintah suaminya, baik kekurangan dalam segi harta, ilmu, kedudukan, maupun keturunannya. Terutama apabila sang istri memiliki kelebihan-kelebihan tersebut daripada suaminya, seyogyanya seorang istri bertaqwa kepada Rabbnya untuk tetap beristiqamah dalam batasan-batasan syariat-Nya semata mencari ridha Allah dan bukan ridha yang lainnya.
Ada sebuah hikayat, bahwa pada masa Nabi saw., ada seorang lelaki berangkat untuk berperang, ia berpesan kepada istrinya, "Istriku, jangan sekali-kali engkau keluar dari rumah ini hingga aku datang." Kebetulan ayahnya menderita sakit, maka perempuan itu mengutus seorang lelaki kepada Nabi saw. untuk bertanya apa yang seharusnya ia lakukan. Nabi saw. bersabda kepada utusan tersebut agar ia mentaati suaminya. Demikian perempuan itu menyuruh utusannya tidak hanya sekali. Dan dia pun tetap mentaati suaminya dan tidak berani keluar dari rumahnya. Hingga ayahnya meninggal dunia, sedang dia tetap tidak mengetahui mayat ayahnya. Dia tetap sabar, hingga suaminya kembali. Allah memberi wahyu kepada Nabi saw,, "Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa orangtua perempuan itu karena ketaatannya (istri) kepada suaminya."
Oleh sebab itu, jangan sekali-kali istri mencari-cari kelemahan suami yang akan mempengaruhi ketaatannya kepada suami. Jika dicari kelemahan itu, pasti akan mendapatkannya. Namun hal itu akan mempercepat kehancuran rumah tangganya sendiri. Jika kelemahan itu akhimya terlihat juga oleh mata kita, maka tugas seorang wanita shalihah adalah memperbaikinya dengan cara yang bijaksana tanpa mengurangi rasa hormat dan ketaatannya kepada suami.


1 komentar: